KI AGENG BANDUNG DAN PANJI SANIAYANGRANGIN
(ASAL USUL DESA SANGGRAHAN DAN LOROK)
Cerita Sejarah dari Kabupaten Pacitan
Hari masih sore, namun mendung
hitam tebal membuat sore itu seakan telah tengah malam. Rembulan yang sedang purnama
sama sekali tidak tampak. Suasana ini semakin sepi dan gelap pekat, segelap dan
sepekat hati, pikiran Den Mas Bandung sore itu. lalsandarkan bahunya ke
balai-balai tempat ia mengajarkan pengetahuan ilmu agama terhadap anak-anak dan
remaja. Pikiran dan telinganya teringat, terngiang pesan orang tuanya di tanah
Periangan sebelum mereka mangkat.
“Ngger... Ayah dan ibunda berpesan,
suatu saat nanti jika ayah dan bundamu telah tiada hidup rukun dan damailah bersama
adikmu. Sebagai putra tertua kau akan meneruskan tahta di tanah Periangan ini.
jadilah penguasa yang arif, biiaksana, mengayomi kawulo dasih demi ketenteraman
dan kedamaian masyarakat!"
“Daulat ayahanda akan hamba
laksanakan. Hamba mohon doa restu ayah-bunda.”
Akan tetapi apa yang terjadi?
Setelah ayah dan ibunya mangkat adik satu-satunya berambisi menggantikan. Den
Mas Bandung tahu sebagai putra mahkota seharusnya dialah yang menggantikannya.
Namun dia memilih mengalah daripada terjadi pertumpahan darah dengan adiknya.
la berusaha menepati pesan dan wasiat orang tuanya tetap hidup rukun dan damm bersama
adiknya, sehingga memilih mengembara dan sampai di wilayah keraiaan Pajang
sampai sekarang. Untuk menghibur galau hatinya dialunkan tembang macapat
“maskumambang" dengan Iirik yang sangat menyentuh.
Urip ira pinter
samubarang kardi
Saking ibu rama
Ing batin saka
Hyang Widhi
Mulane wajib
sinembah
Sejatine sembah
bhekti marang gusti
Tuwin ibu rama
Iku tindak bener
becik
Ora ldmung rota
krama
Hidupmu
pandai/mengerti terhadap banyak hal
Dari ibu dan
bapak
Di dalam batin
dari Tuhan Yang Maha Kuasa
Makanya wajib
disembah
Sebenarnya
sembah dan bakti terhadap Tuhan YME
Dan terhadap ibu
ltu perilaku
yang benar dan baik
Tidak hanya
bertata-krama
Dua puluh tembang maskumambang itu
terasa meringankan beban berat akibat pengalaman dan kenangan masa Ialu. Setiap
ada kesedihan, kegalauan ia lantunkan tembang-tembang yang dapat menghibur
hatinya; karena dia begitu mencintai tembang-
tembang jawa walau dilahirkan di
tanah Sunda. Tersebutlah seorang pemuda yang ikut memperdalam ilmu agama dan
berguru kepada Ki Ageng Bandung. la bernama Panji Sanjayangrangin. Ia seorang
pemuda yang tekun belajar dan selalu setia kepada gurunya.
“Sanjaya...sore ini sengaja kau
kupanggil karena ada sesuatu yang harus aku sampaikan padamu."
“Baiklah Ki Ageng." Ki Ageng
sebutan terhadap Den Mas Bandung.
“Begini..." Ki Ageng Bandung
membenahi tempat duduknya. “Kau tahu, aku telah menetap di wilayah Pajang ini
sejak beberapa tahun silam sehingga telah saatnya aku mesti meneruskan
pengembaraanku. Padepokan ini aku serahkan kepadamu. Tuntunlah
saudara-saudaramu, adik-adikmu dalam belajar!"
“Ki Ageng akan mengembara kemana? Kemana
pun Ki Ageng pergi jika diperkenankan aku akan selalu menyertai. Belum cukup
pengalaman dan pengetahuan yang harus aku pelajari dari Ki Ageng. Lagi pula bukankah
aku dapat membantu Ki Ageng sesuai kemampuan?"
“Sudahlah... Tinggalah kau di
tempat kelahiranmu. Kau akan dapat mengabdikan diri di keraiaan Pajang
ini."
“Apakah yang dapat aku lakukan
tanpa Ki Ageng Aku hanya seorang hamba bukan bangsawan atau prajurit yang dapat
membela negara dan kerajaan."
“Kau harus tahu Sanjaya bahwa pengabdian tidak hanya dapat dilakukan
oleh pejabat, orang berpangkat, atau konglomerat. namun juga dapat dilakukan
oleh rakyat, orang melarat atau siapa pun. Berjuang itu bukan untuk mencari
beras, baju dan uang, namun berjuang itu sebuah pengorbanan yang tulus, ikhlas tanpa
pamrih. Pahlawan bukan hanya mereka yang gugur memanggul senjata membela bangsa
di medan laga, akan tetapi semua perbuatan baik untuk kepentingan masyarakat,
kepentingan bersama, bangsa dan negara; itulah jiwa kepahlawanan, lngat pesan
para winasis dan leluhur kita dalam tembang Dhandhanggula berikut:
Dhuh nak angger
padha dipun cling
Apa kang aran kapahlawanun
Dudu mung kar'na
crane
jiwa tansah
anggugu
Pakaryan utama
Ian becik
‘Ra krona drajat
pangkat
Lan sifat
ngadigung
Ugo
adigang-adiguna
Nanging sucining
afi resiking budi
Mrih sedaya
utamu
“Saniaya... tembang ini mengajarkan
bahwa jiwa kepahlawanan ini didasari perbuatan baik. bukan karena derajat,
pangkat, kedudukan apalagi sifat adigang, adigung, adiguna
sombong mengandalkan hartanya, kekuatannya,
kekayaannya atau kepandaiannya."
“Lalu apa Ki Agengl"
"Yang utama sucinya hati, bersihnya
budi dan itu semua bertujuan mendapatkan kebaikan."
“Ki Ageng mohon dimaafkan karena
aku belum dapat melakukan seperti yang Ki Ageng pesankan. Oleh karenanya apapun
yang terjadi dan kemana pun Ki Ageng pergi
mengembara Sanjaya akan
menyertai."
“Mengapa niatmu begitu keras,
tekatmu begitu bulat Sanjaya?“
“Sebab, aku masih harus belaiar dan
menimba pengalaman dari Ki Ageng."
“Baiklah kalau begitu, besuk kita
berangkat. Tetapi kau mesti ingat bahwa perjalanaan hidup yang akan kita lalui
penuh liku-liku, banyak tantangan dan godaan. sanggupkah kau Sanjaya?"
Berapa lama perjalanan Ki Ageng
Bandung dan Panji Sanjayarangin tidak diceritakan, akan tecapi keduanya telah
sampai di Kadipaten Ponorogo yang saat itu penguasanya Bathara Katong. Mereka
mengabdi kepada penguasa Ponorogo ini. Sebelum itu, di Ponorogo kedatangan Ki
Ageng Ampak Baya dan Ki Menak Sopal. Atas seizin penguasa Ponorogo kedua orang
ini membuka hutan. Ki Ampak Baya membabat hutan di wilayah Pacitan, sedang Ki
Menak Sopal membuka hutan di sebelah timur Ponorogo yang dalam perkembangannya
wilayah ini bernama Trenggalek. Ki ageng Ampak Baya kemudian terkenal dengan
nama Ki Ageng Posong memimpin perdikan ketiga, sebab tanah perdikan pertama
berlokasi di jati dan tanah perdikan kedua dipimpin oleh Ki Ageng Petung di
Rejasa. Sedang tanah perdikan keempat dipimpin/didirikan oleh Syeh Maulana
Maghribi, seorang mubalig penyebar Islam bercempat tinggal di Duduwan.
Dengan datangnya Ki Ageng Petung,
Ki Ageng Posong dan Syeh maulana Maghribi di Pacitan terjadi lslamisasi. Pendatang
baru ini harus berhadapan dengan penguasa setempat yaitu Ki Ageng Buwono Keling
yang tetap mempertahankan tradisi-tradisi Hindu-Budha.
Pengabdian Ki Ageng Bandung dan
Panii Saniayangrangin kepada penguasa Ponorogo mendapatkan sambutan baik, dan bahkan
telah beberapa tahun mereka menunjukkan kesetiannya sehingga suatu hari mereka
dipanggil menghadap.
“Ki Ageng Bandung dan kau Panji,
kesctiaanmu terhadap Ponorogo tidak saya ragukan. Sebenarnya saya senang kalian
berdua tinggal di sini, akan tetapi sebagai wujud kepercayaan dan rasa kasihku
kalian saya serahi wilayah sebelah tenggara Ponorogo. Bukalah hutan di sana.
Sanggupkah kalian?"
“Hamba sanggup Paduka!" sahut
Ki Ageng Bandung dan Panji Sanjaya hampir bersamaan.
“Kami hanya dapat menghaturkan
terima kasih dan mohon doa restu!"
“Tapi ingat bahwa di Rejasa,
Posong, Duduwan telah ada yang memiliki. Bukalah hutan di sebelah timur."
Ki Ageng Bandung dan Panji
Sanjayangrangin disertai beberapa orang dari Ponorogo telah memasuki wilayah
yang akan dibuka.
“Sanjaya...mari kita membuat pesanggrahan
di sini untuk tempat peristirahatan. jika nanti ada tempat yang lebih baik untuk
kita diami kita berpindah, namun jika tidak di sini pun tempatcnya sudah lumayan."
Sanjayangrangin dan lainnya menurut perintah Ki Ageng Bandung. Mereka membabat
hutan dan membuatt rumah untuk pesanggrahan. Sampai sekarang tempat ini bernama
Sanggrahan dan termasuk wilayah Desa Ketro Wonojoyo, Kecamatan Kebonagung,
Pacitan.
Pembabatan hutan oleh Panji
Sanjayangrangin diteruskan dimulai dari selatan yaitu di sekitar Gunung Kunir.
Akan tetapi setelah dibabat tempat ini tidak rata penuh dengan bukit dan
lembah. Pembabatan semakin ke utara. Di sini tempatnya rata yang sampai sekarang
dinamakan Desa Nglaran (dari welaran = pelebaran) yaitu pelebaran dari wilayah
Gunung Kunir. Dengan seizin Ki Ageng Bandung Nglaran ditempati Panji
Sanjayangrangin, sedang Sanggrahan
ditempati oleh Ki Ageng landung.
Suatu sore Panji Sanjayangrangin
bertandang ke Sanggrahan. Di ruang depan ia kelihatan sedang berbincang dengan
Ki Ageng Bandung.
“Pembukaan hutan harus kita
teruskan Sanjaya."
“Lantas wilayah sebelah mana yang
harus kita buka, Ki?
Bukankah kita telah menjadikan
beberapa pedusunan dan telah menemukan tempat tinggai?" '
“Benar Sanjaya, namun kita harus
ingat bahwa pembukaan hutan ini bukan hanya untuk diri sendiri, kita mesti
mengingat anak cucu kita nanti. Lagipula selagi kita masih kuat marilah kita lakukan
sesuatu untuk kemaslahatan orang banyak."
Pagi-pagi benar setelah sholat
subuh Ki Ageng Bandung dan Panii Saniayangrangin telah memasuki hutan di
sebeiah timur. Daerah yang mereka temukan merupakan perbukitan yang kurang
menarik namun wiiayah Lorok (saat itu belum dinamakan Lorok) menjadi perhatian
sebab bagian yang rata lebih luas, sumber air banyak walaupun di sana-sini
banyak rawa. Menurut perhitungan Ki Ageng Bandung daerah ini sangat subur. Ki Ageng
Bandung dan Panii Sanjayangrangin sepakat akan tinggai situ. Oleh Karena itu, pembukaan hutan dimulai
dari lereng bukit sebelah selatan dan perkembangan berikutnya daerah yang dinamakan
Dusun Bandung. Sesepuhnya Ki Ageng Bandung dan Panji Sanjayangrangin juga ikut
tinggai di situ. Ki Ageng Bandung lama
tidak sowan ke Ponorogo; pada-hal berkat kemurahan Adipati Ponorogol mereka
dapat membuka hutan dan menjadikan pedusunan yang ramai. Oleh karena itu, Ki
Ageng membulatkan tekat untuk sowan ke Ponorogo. Dan benar juga, suatu sore ia
sudah berada di pendopo Kadipaten Ponorogo.
“Assalamu ‘alaikum ndoro
Adipati."
“Wa'alaikum salam. Ooh... Ki Ageng
Bandung. Silahkan paman!" (Bersambung).....